Perkembangan teknologi ditandai kecepatan internet dan tumbuhnya media sosial menjadi sulit terhindarkan dalam komunikasi digital di Indonesia. Kita menghadapi sebuah zaman dimana literasi, edukasi dan informasi menyatu dalam sebuah platform digital. Beragam informasi mudah diperoleh dengan akses gadget yang menempel di tangan setiap harinya. Kesulitan mengakses informasi menjadi sesuatu yang mustahil di era ketergantungan masyarakat kepada media sosial. Sebuah ketergantungan yang seringkali bagaikan sebuah pisau yang jika ditusuk karena tajam berdampak negatif, tetapi jika dimanfaatkan dengan baik akan mendorong komunikasi yang bersifat positif dan konstruktif.
Fenomena munculnya generasi tiktok menjadi sebuah kenyataan dan takdir sejarah. Kita hidup dalam kepungan informasi yang masuk setiap hari mengisi pikiran. Salah satu informasi yang sulit terhindarkan dari media sosial seperti TikTok. Sejak awal kemunculannya, TikTok seringkali dianggap sebagai platform lelucon dan hiburan. Padahal TikTok dapat menjadi sarana edukasi dan berbagi ilmu praktis. Dalam TikTok, setiap orang dapat bebas membuat konten yang dapat memberikan daya jangkau yang luas dan menciptakan ruang tanpa hambatan waktu, jarak dan tenaga.
Program ini akan dilaksanakan pada tahun 2025, dengan melibatkan berbagai kalangan untuk mencanangkan kesadaran berliterasi. Tujuan utamanya adalah memberantas buta huruf dan memberantas berita hoaks (gosip) yang berkembang seiring dengan adanya teknologi digital, terutama yang masuk di desa-desa mitra Indonesia Lebih Baik (ILB).
Jika literasi dimaknai semangat membaca dan dipahami sebagai pelajaran bahasa Indonesia, maka kita akan terus memandang sempit makna literasi. Padahal di era digital, mewarnai konten dunia maya dengan video dan tips singkat terhadap sebuah pembelajaran hidup termasuk bagian literasi. Memecahkan soal matematika, atau mengajarkan teori sosial dengan konten poin per poin merupakan bagian penumbuhan semangat literasi. Mengajak orang menghindari pinjol dan membudayakan gerakan cerdas keuangan merupakan bagian dari program literasi finansial. Mengajak orang membaca sebuah buku dengan menciptakan trailer video lucu dan unik menjadi bagian literasi agar banyak manusia Indonesia semangat membaca. Menonton video sambil menjelaskan hikmah dan ajaran agama merupakan internalisasi literasi beragama. Mendorong orang agar toleransi dengan foto dan video keberagaman menciptakan literasi moderasi beragama. Guru membuat video rahasia jadi sepintar Einstein diharapkan mampu menciptakan motivasi semangat belajar.
Jadi tantangan literasi di era digital bukan lagi literasi dipahami dengan pola lama yaitu membaca dan menulis. Itu pikiran yang sulit diberlakukan kepada generasi yang semakin berubah menuju arah instan dan kecanduan teknologi. Sebagai pendidik dan penggiat literasi, kita harus melepaskan diri dari pola lama tersebut. Di zaman digital ini, kita harus berusaha mendorong bagaimana teknologi mampu tetap menguatkan karakter dan beradaptasi dengan teknologi. Berbagai contoh di atas menjadi sebagian alternatif agar digitalisasi mampu bersinergis dengan semangat literasi.
Generasi TikTok sudah lahir, berkembang dan terus berevolusi dengan perubahan zaman. Tugas pendidik dan penggiat literasi bagaimana mengubah tantangan menjadi peluang dengan menciptakan lebih banyak kreativitas literasi. Berhentilah mencela generasi TikTok dan cobalah bangun interaksi mendalam bagaimana nilai hiburan dan lelucon tetap hadir di TikTok. Tetapi diselipkan penguatan karakter sehingga ke depan muncul TikTokers yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan menciptakan nilai kebaikan. Kita percaya TikTok dan platform digital lainnya hanya sebuah alat, tetapi manusia terbaiklah yang mampu mengendalikan alat tersebut menuju pikiran positif atau negatif.
Inggar Saputra
(Peneliti ILB)
No responses yet