Hilangnya Pola Pikir Pengusaha: Belajar Dari Sunhaji

Latest Comments

No comments to show.

Siapa yang menyangka, sebuah ceramah akan menjadi cerita panjang. Berawal dari dialog singkat Gus Miftah dengan seorang pedagang es teh. Sampai keluar kata goblok yang dipandang tidak santun. Bagaimana mau disebut santun, di acara ceramah seorang pendakwah mencela orang lain. Lebih merepotkan candaan itu disertakan tertawa yang keras. Sehingga makin kesal saja mereka yang melihat dan mendengarkan dialog dalam video viral tersebut.

Kejadian itu akhirnya ramai menjadi perbincangan netizen, sebagian besar memprotes keras tindakan Gus Miftah. Mulai dari sikap teguran halus dan kata-kata kasar bertebaran di media sosial. Mereka meminta Gus Miftah bertanggung jawab dengan meminta maaf, tak sedikit yang mendesaknya mundur. Sebagian netizen lain bereaksi keras dan mulai ”menguliti” latar belakang dan adegan terdahulu Gus Miftah yang bermakna negatif. Mulai dari melecehkan secara verbal seorang pesinden, sampai pelecehan fisik menjambak rambut istrinya dalam sebuah acara.

Kata goblok seketika viral, dikaitkan dengan ucapan Gus Miftah yang dibarengi tertawa rekan segrupnya. Sementara itu netizen semakin ”berani” mendesak Gus Miftah mundur, sampai sibuk membuat petisi. Teguran juga datang dari istana, melalui pernyataan Mayor Teddy. Setelah itu, Gus Miftah menemui Sunhaji dan mengaku menyesal, keduanya saling memaafkan. Tapi tampaknya netizen sudah terlalu kesal dengan sikap dan kata kasar Gus Miftah. Tak lama berselang, Gus Miftah mundur dari jabatannya sebagai utusan khusus Presiden Prabowo.

Ketika Gus Miftah ramai diserang masyarakat dunia maya, sebaliknya Sunhaji menuai banyak peluang ”emas” dan keberkahan. Simpati mengalir dari masyarakat kepadanya, sehingga mulai dari peluang umroh, bantuan gerobak dan uang tunai berdatangan. Semua bantuan itu baik fisik dan finansial menandakan masih tumbuhnya kepedulian masyarakat Indonesia. Sunhaji dianggap mewakili keresahan masyarakat yang membenci sikap meremehkan dan tindakan perundungan. Sikap Gus Miftah dianggap melanggar nilai kesopanan di masyarakat dan merendahkan hak asasi manusia. Sebaliknya Sunhaji dianggap sebagai korban dan suara masyarakat kecil yang harus dilindungi.

Dalam sebuah pemberitaan media, Sunhaji mendapatkan bantuan 300 juta rupiah. Bantuan bakul teh juga menghampiri Sunhaji, bahkan dikabarkan ada seorang politisi juga bersimpati kepadanya. Tentu itu sebuah sikap yang terpuji dan menandakan kepedulian. Dari satu sisi, kita melihat bagaimana semangat kepedulian dan gotong royong membantu sesama itu tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Ini menandakan masih kuatnya rasa kemanusiaan dan keberpihakan kepada masyarakat yang secara standar ekonomi masih di bawah garis kemiskinan.

Tapi membaca dari keberlanjutan program ekonomi, tidak terlihat ada bantuan bagaimana mengubah pola pikir Sunhaji. Ini sangat disayangkan, sebab ada potensi Sunhaji tidak sepenuhnya mampu keluar dari jeratan kemiskinan. Donasi uang dan bantuan fisik meski bernilai baik, tapi bercirikan sifat yang instan. Padahal sebagian besar masalah menumbuhkan semangat wirausaha di Indonesia adalah pola pikir. Ketika cara memandang uang, kekayaan dan spirit enterpreneurship belum dimunculkan, maka ada potensi Sunhaji kembali jatuh dalam kemiskinan.

Dari kasus Sunhaji, kita belajar bagaimana kapitalisasi kepedulian masih berakar dari semangat membantu yang ada kesan berorientasi pencitraan. Padahal andaikan ada bantuan kursus, pelatihan dan bimbingan intensif mengenai bisnis kepada Sunhaji, akan membantu mengubah pola pikirnya. Ketika cara pandang memandang kekayaan, uang dan wirausaha meningkat, pola hidup Sunhaji termasuk kebiasaannya membuat, melipatgandakan dan berbagi uang yang dihasilkannya meningkat. Di sinilah perlunya memikirkan mengubah cara pandang seseorang terhadap kehidupan ekonomi yang berkelanjutan.

Sudah waktunya bangsa kita mengurangi semangat memberikan segala kepedulian secara instan berupa uang dan benda fisik yang mudah tergerus waktu. Bekal pengetahuan sangat dibutuhkan dalam mendorong semakin banyak wirausahawan baru di Indonesia. Di kasus Sunhaji kita belajar bagaimana ”pesona” kasus yang berhenti pada bantuan fisik yang mengalir deras. Tak ada bantuan pola pikir dan keterampilan berbisnis yang akan mengubah kehidupannya. Popularitas kasus ini berhenti pada sisi viralitas dan kecepatan informasi yang ditindaklanjuti semangat berbagi secara instan.

Tentu kita berharap di masa mendatang, ketika ada kasus serupa muncul semangat membantu ekonomi secara keberlanjutan. Para stakeholders seperti lembaga kursus dan lembaga filantropi yang berorientasi kepada bisnis sosial dapat ikut ambil bagian dari kasus ini. Mereka dapat mendidik Sunhaji mengembangkan pola pikir pebisnis, mengajarkan keluarganya mengembangkan bisnis tehnya secara digital, serta membimbing secara intensif sehingga Sunhaji mampu memanfaatkan bantuan uang dan fisik secara baik, bijaksana dan mengubahnya meningkat dari sisi taraf kesejahteraan hidupnya.

Inggar Saputra
(Peneliti ILB)

TAGS

CATEGORIES

Blog

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *