Literasi Persaudaraan Bangsa Sebagai Kunci Meredam Gejolak Politik

Latest Comments

No comments to show.

Oleh : Inggar Saputra (Penggiat Literasi Indonesia Lebih Baik)

Dalam perpolitikan bangsa Indonesia, memaknai politik bukan sekedar hitam putih. Sebagaimana kata politik yang bermakna strategi, dunia politik selalu dinamis. Kadang kita menjadi kawan, tetapi perbedaaan pandangan membuat kita menjadi lawan. Tapi terlepas dari perbedaan yang ada, menjaga integritas dan integrasi bangsa adalah segalanya. Posisi inilah yang sekarang sulit ditemukan dalam perpolitikan nasional. Konteks pemilu misalnya kita belum mampu melahirkan banyak politisi yang bermental negarawan. Mentalitas siap menang dan siap kalah dalam sebuah kontestasi politik.

Ketika menang, kita memang layak ditakdirkan jadi pemimpin dan berkuasa. Kekuasaan harus dimanfaatkan dan dikelola untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Jangan sampai berfikir kekuasaan sebagai sarana membalikkan modal yang habis saat berkompetisi dalam pemilu. Jika pikiran merusak itu lahir, maka kita akan etrjebak dalam berpolitik menghalalkan segala cara. Termasuk merusak kepercayaan masyarakat dengan membiarkan para pebisnis nakal merampas hak masyarakat. Dengan dalih mengembalikan modalitas finansial, kita juga akan mudah terjebak dalam puasaran korupsi sehingga tujuan berpolitik berubah menjadi memperkaya diri.

Sebaliknya mereka yang kalah dalam politik harus membiasakan bersikap santai, mengevaluasi kekalahan dan menyiapkan strategi untuk pertarungan politik berikutnya. Seorang yang terbiasakan hidup dalam dunia berpolitik akan cenderung menganggap menang dan kalah sebagai sesuatu yang wajar dan biasa saja. Sehingga kekalahan tak membuatnya layak mendapatkan label pecundang, sebab kekalahan politik hari ini bisa jadi akan berkembang menjadi kemenangan politik kemudian hari. Maka memaknai kekalahan politik bukan akhir dari segalanya, sebab hidup dalam dunia politik selalu dinamis. Zaman berganti dan kekuasaan dalam politik akan dipergilirkan sebab tak ada keabadian dalam politik.

Tetapi persoalannya kemudian, kita seringkali gagal memaknai kekalahan sehingga terjebak dalam oposisi yang merusak. Seringkali dengan dalih oposisi, setiap kebijakan pemerintah dinilai salah tanpa memperhatikan konteks kritiknya. Akibatnya kritik dari pihak yang kalah seringkali sekedar luapan emosional dan dibingkai keyakinan ”Setiap kebijakan negara adalah salah” Prosesi keilmuan dan nalar logika sebagai dasar menyampaikan kritik menjadi kehilangan dan tenggelam dalam dunia yang membisu. Setiap kritik politik diarahkan bagaimana terbatas menyalahkan kebijakan negara, tanpa memperhatikan subtansi dari kritik. Lebih jauh, politisi jenis ini dapat dinilai sekedar memenuhi hasrat dan nafsu untuk berdemokrasi secara prosedural dan kehilangan demokrasi subtansial. Tak ada transaksi gagasan sebab kritik yang disampaikan sekedar angin yang berhembus kencang padahal kecepatan anginnya sepoi-sepoi.

Lebih merepotkan pihak yang menang dalam kompetisi politik bersikap tidak jauh berbeda. Atas dasar keyakinan programnya terbaik, unggul dan dipenuhi manusia yang suka mencari muka. Sehingga kritik yang diberikan lawan politik dianggap sebagai bentuk penentangan dan melawan kebijakan negara. Ketika pikiran ini sudah merasuki pemenang kompetisi politik, sulit baginya menerima segala masukan baik canda ringan politik sampai kritik pedas. Pikiran yang menolak kritik akan sulit membesarkan hati dan menciptakan kerentanan dalam jiwanya dengan memandang politik sebagai hitam dan putih. Menolak kritik akan membuat telinga terasa tipis dan membuat negara gagal berkembang dan maju di tengah dinamisnya dunia dalam era yang semakin mendukung adanya transparansi dan akuntabilitas.

Merespons kondisi itu, kita membutuhkan literasi politik yang mendukung persatuan dan kesatuan bangsa. Memandang perbedaan pilihan dan pandangan politik dalam bingkai integrasi kebangsaan sebagai pilihan utama dalam berpolitik. Kadang berpolitik sejalan dengan pikiran dan pilihan kita, tetapi di lain waktu akan berbeda pandangan dan preferensi politik. Apapun itu, kita berjalan dalam sebuah kesamaan pandangan baik berkuasa atau oposisi dilandasi semangat mencintai bangsa dan negara. Sebagaimana pernah dikatakan Anies Baswedan dalam sebuah pesan politiknya ”Kita ini sebangsa dan saudara. Ada saat dimana kita mampu berjalan bersama. Ada saat kita tidak berjalan bareng. Tetapi jangan sampai persaudaraan selesai, persahabatan selesai. Sebab itu harus dijaga terus”

TAGS

CATEGORIES

Blog

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *