eknologi digital, khususnya internet dan media sosial adalah wajah manusia di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Hari ini, perkembangan globalisasi, modernisasi dan viralisme menjadikan internet dan media sosial sebagai kebutuhan primer. Manusia dibentuk, dipengaruhi dan dikendalikan alam pikirannya melalui serbuan informasi. Jutaan narasi berkembang setiap harinya, masuk ke alam pikiran, dan berkembang menjadi tindakan. Secara tidak sadar, kita kehilangan daya nalar kritis dan masuk dalam perangkap yang diciptakan para pencipta opini, narasi dan konten.
Akibat membanjirnya informasi, kita menghadapi kesulitan dalam mencerna beragam narasi dengan kompleksitas tinggi dan cepat. Keseharian kita disibukkan mendapat informasi secara praktis, aksesnya terbuka, miskin etika dan kehilangan sensitifitasnya. Sebagai contoh chat gpt sebagai bagian dari kecerdasan buatan. Diakui, chat gpt mempermudah akses mencari informasi, tetapi tidak dibarengi kemampuan mencerna kontennya. Padahal masih banyak ditemukan bias informasi dalam narasi yang ditampilkan chat gpt.
Di kalangan anak muda, era digital membuat berbagai konten muncul dan mengisi media sosial. Instagram, whatsapp, twitter (sekarang X) menjadi favorit kalangan anak muda dalam menghabiskan harinya bersosial media. Sentuhan digital perlahan mulai menghilangkan interaksi formal dalam berbagai pertemuan, termasuk canda tawa sebuah keluarga. Dulu mungkin kita heran, tetapi sekarang kita diarahkan agar terbiasa melihat satu keluarga berkumpul dan semua disibukkan dengan gadget masing-masing.
Realitas yang tak kalah memilukan, akses internet dan media sosial yang bersifat terbuka menghilangkan sensitifitas dan hati nurani. Muncul konten dengan dalih kebebasan berekspresi menampilkan tayangan vulgar dan memperlihatkan pemberitaan kejahatan dengan foto yang mempertontonkan kekerasan. Kita menghadapi darurat literasi yang dilengkapi minimnya etika untuk mencoba menghargai kearifan lokal bangsa Indonesia yang ketimuran.
Sementara itu, dunia politik kita kebanjiran perang opini tidak sehat dengan cacian, makian, hinaan, dan kata-kata kasar. Ketika ada pendapat berbeda, disikapi dengan tidak bijaksana melalui kata-kata yang menghilangkan sopan santun. Tak kalah menyedihkan, pemberitaan palsu, ujaran kebencian dan informasi menyesatkan disebarkan demi ambisi dan kepentingan politik tertentu. Tak heran, ada pandangan yang muncul netizen Indonesia dikenal sebagai warga dunia maya yang tidak sopan.
Di tengah berbagai guncangan yang mengganggu jiwa, mental dan mengotori hati serta pikiran. Kita butuh sebuah kesejukan dunia virtual yang menyehatkan jiwa dan batin. Dalam konteks ini, penulis positif sangat dibutuhkan di Indonesia, melalui konten yang sehat dan mencerahkan. Kita perlu memproduksi lebih banyak penulis positif, yang memberikan edukasi yang inspiratif di dunia maya. Jangan sampai kita jadi penulis dan netizen yang julid, nyinyir, dan asal komen, tanpa memperhatikan etika yang mengaburkan makna dari kata yang ditulis.
Sebagai bangsa Indonesia yang memiliki adat ketimuran, bijaksana dalam berkomentar menjadi sebuah keharusan. Dalam hidup, kita memang kadang tak sejalan dengan orang lain, tapi jangan sampai kita menciptakan dosa jariyah. Beda pandangan itu biasa, tapi jangan sampai kita sibuk menghina, mencela dan memaki orang tersebut. Kita tidak hidup sebagai manusia yang paling benar, paling suci dan paling hebat. Bijaksana dalam memilih kata, kalimat dan berkomentar harus menjadi kunci keadaban, sekalipun berbeda pandangan dengan orang lain.
Karakter penulis positif tak harus bersifat memuji, kritik boleh saja. Negara ini menjamin siapapun bebas mengkritik, asal bertanggung jawab dan tidak menciptakan kerusakan sosial dengan kata-kata yang diucapkan. Sebagai bangsa yang toleran dan terbiasa menghadapi perbedaan, kita tetap harus mengedepankan keadaban dan sopan santun dalam kata-kata yang ditulis. Kita berpendapat, beradu argumentasi, dan bertukar gagasan, itu sah dalam alam demokrasi. Tapi tidak elok, jika kita beradu pendapat dengan kata yang menghina, mengejek dan merasa dirinya paling benar.
Penulis positif juga harus peka terhadap kondisi dan realitas yang berkembang di masyarakat. Dalam menulis, cobalah memilih diksi yang tidak vulgar dan merendahkan orang lain. Jika ingin menyampaikan pandangan berbeda, sindiran dalam bentuk cerita atau satire dapat menjadi pilihan. Sebagai penulis positif, kita perlu menegur juga media yang menampilkan adegan kekerasan dan vulgar dalam tulisan yang kita buat. Sebab mereka sudah melanggar etika, tidak memperhatikan sensitifitas masyarakat, dan melanggar kepatutan sosial demi mengejar rating dan viralitas semata.
Para penulis positif, yang hidup di era digital juga perlu menumbuhkan sikap kritis dan selektif terhadap informasi. Penggunaan kecerdasan buatan seperti chat gpt, jadikan semata alat bukan tujuan. Mencari informasi dasar, silahkan pakai chat gpt. Tapi jangan menelan mentah-mentah informasi yang diberikan. Kita ini manusia, diberikan akal untuk berfikir, mengelola dan cerdas mencerna informasi. Hidup dengan informasi yang praktis itu wajar, tapi menghidupkan daya nalar kritis atas informasi jangan sampai hilang.
Meski era digital sedang berjaya dan mencapai puncaknya. Tetap sadarilah kita perlu keseimbangan hidup dunia nyata dan dunia maya. Jangan biasakan tenggelam dalam keseharian media sosial semata. Sementara lingkungan bergaul menjadi hilang dari keseharian. Tetap hidupkan diri dengan keseimbangan pergaulan dunia maya dan dunia nyata. Dunia maya sarana menuangkan gagasan, berbagi pengetahuan dan pengalaman. Dunia nyata sebagai tempat mencari kreativitas, gagasan dan ide terbaik menulis dari fenomena yang ditemukan di alam sekitar.
Oleh : Inggar Saputra (Peneliti Indonesia Lebih Baik)
No responses yet