Politik di Indonesia diakui selama ini dominan dipegang laki-laki disebabkan banyak faktor baik sejarah, budaya, sosial dan ekonomi. Secara sejarah, perempuan sejak zaman penjajahan ditempatkan sebagai kelompok masyarakat bawah. Mereka mengalami diskriminasi rasialis di sektor politik diposisikan secara pasif sehingga kehilangan hak sosial dan politiknya. Kedudukan perempuan pribumi di zaman Hindia Belanda tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan perempuan di Belanda. Ada pembatasan yang ingin menempatkan posisi perempuan pribumi atau Indonesia tetap berada ketinggalan zaman baik segui pengetahuan dan pengalaman politiknya.
Kondisi ini diperburuk secara sosial budaya, kedudukan perempuan pribumi di zaman kolonial seringkali dikategorikan rendah sebagai nyai dari orang Eropa atau Timur Asing. Dalam struktur masyarakat tertentu misalnya Jawa, perempuan juga mengalami kesenjangan sosial budaya. Mereka diposisikan bekerja dalam ranah terbatas yaitu sumur, kasur dan dapur. Sementara secara ekonomi, mengingat ada keterbatasan secara fisik dan psikologis. Perempuan di masa lalu cenderung dianggap kurang mampu secara kemandirian ekonomi.
Paska kemerdekaan, posisi perempuan terutama di sektor politik masih mengalami pembatasan karena sekat dan batasan yang ada di masyarakat. Satu yang cukup melekat dan agak sulit dihilangkan dalam menyikapi persoalan partisipasi politik perempuan adalah budaya patriarki. Meski Indonesia menganut ideologi Pancasila, secara realiatas masih ada kesenjangan gender dalam budaya masyarakat Indonesia. Perempuan masih ditempatkan derajatnya di bawah laki-laki, sehingga mempersulit akses perempuan di dunia politik. Apalagi belum muncul kesepakatan bersama dimana perempuan Indonesia belum sepenuhnya memilih politisi perempuan sebagai wakilnya. Padahal suara perempuan politisi diharapkan mampu mewakili aspirasi perempuan yang memilihnya.
Belakangan, aspirasi politik perempuan terus digencarkan melalui sistem afirmasi dalam politik melalui kuota 30 persen perempuan. Hal ini tentu membawa angin segar dimana kebijakan itu diharapkan mampu menyuarakan aspirasi perempuan di parlemen. Tetapi sekali lagi, realitas yang ada sebagaimana digambarkan data dari World Bank (2019), bahwa negara Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Dampaknya jelas, banyak kebijakan negara belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan dan kurang mampu mendukung prinsip kesetaraan gender yang bersifat universal.
Partai politik juga tidak sepenuhnya mendukung perempuan terbukti hanya sedikit parpol di pilpres 2024. Menurut rumah pemilu (20234), meski persentase keterwakilan perempuan dalam Pemilu DPR meningkat dari 20,5% pada Pemilu 2019 menjadi 22,1% pada Pemilu 2024. Namun, 17 partai dari 18 partai nasional tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30% di setiap dapil pada Pemilu 2024. Tak jauh berbeda, berdasarkan data Puskapol UI, Komisioner Bawaslu RI berjumlah 1 (17,3%) perempuan dan 4 laki-laki, sementara pada KPU RI hanya 1 (14,3%) perempuan dari 7 komisioner. Pada tingkat Bawaslu provinsi, dari jumlah total 188 orang, hanya terdapat 38 (20,2%) perempuan, di KPU provinsi dari 185 anggota, hanya terdapat 39 (21,1%) perempuan. Sementara KPU dan Bawaslu tingkat kabupaten atau kota hanya terdapat 441 (17,3%) perempuan untuk KPU, dan 315 (16,5%) anggota Bawaslu perempuan.
Padahal,Undang-Undang Pemilu No 7 Tahun 2017 Pasal 245 menyebutkan bahwa syarat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% harus terpenuhi di setiap dapil, bukan akumulasi total secara nasional. Pekerjaan rumah ini menjadi tantangan bagi aktivis perempuan dan masyarakat Indonesia dalam mendorong perempuan Indonesia agar mampu mencapai standar yang ditetapkan dalam kuota 30 persen perempuan. Pentingnya pendidikan baik skala formal, informal dan nonformal sangat dibutuhkan dalam mendorong terwujudnya peran perempuan lebih maksimal di dunia politik. Peningkatan kesadaran melalui formalisasi kebijakan kurikulum di sekolah mengenai peran perempuan harus ditingkatkan, didukung pendidikan informal melalui kursus sekolah politik perempuan dari organisasi perempuan. Sementara keterlibatan organisasi masyarakat baik keagamaan dan adat dapat mendukung pendidikan nonformal melalui keterlibatan unit keluarga di masyarakat dalam mendukung kesiapan perempuan dalam berpolitik.
Selain pendidikan, berbagai jalur dan akses informasi pengetahuan melalui beragam media baik sifatnya offline dan online harus dimaksimalkan. Organisasi perempuan harus semakin memassifkan pembelajaran berbasis masyarakat melalui edukasi dan penyuluhan dengan melibatkan media massa setempat khususnya perempuan di pedesaan. Sementara akses media online juga harus mampu memicu kreativitas dalam menyajikan informasi dalam bentuk grafis, poster dan informasi yang berisikan pengetahuan mengenai pentingnya partisipasi politik perempuan. Di era digital, masuknya informasi melalui jalinan komunikasi media sosial harus dimanfaatkan dalam mendorong percepatan transformasi digital, salah satunya mendukung visi mendukung perempuan dalam dunia perpolitikan nasional.
Terakhir pengalaman, dimana meski belum optimal sudah banyak perempuan yang berkiprah di dunia politik yang harus memanfaatkan kanal media sosial dan pertemuan terbuka di masyarakat. Mereka perlu mengajak kaum perempuan masuk politik, membina kesadaran kritis kaum perempuan dan menekankan kepada mereka dampak positif dari semakin banyaknya perempuan masuk politik. Dengan pengalaman yang sudah dijalankannya, para politisi perempuan ini menjadi garda terdepan dalam mendorong aktualisasi diri perempuan berbasiskan pengalaman dan kerja nyata yang sudah dijalaninya selama ini di dunia politik. Melalui kemampuan bercerita dan mengungkap peran perempuan secara nyata, diharapkan perempuan Indonesia akan semakin tercerahkan untuk bergerak memperjuangkan aspirasinya melalui fasilitasi dunia politik.
Ditulis Oleh :
Inggar Saputra
(Peneliti Indonesia Lebih Baik)
No responses yet